Membangun Kemandirian

Selamat Datang,
"Temukan fitrahmu, sebar & rangkul bersamamu karena kau tak sendiri"

Masa sulit membuat sebagian orang berfikir dangkal, pasrah tanpa langkah perubahan fundamental.
Kesulitan semakin menjadi alasan utama ketika orang terpaksa rusak tak berdaya memilih.
Namun, pasti ada jalan keluar dari setiap permasalahn, pasti ada kemudahan di tiap kesulitan.
Melawan adalah pertahanan pertahanan jitu dalam pertarungan dan menghadapi ujian dengan perjuangan adalah suatu keharusan.
Mengajak anda dan mereka untuk mengingat kembali akan tujuan utama hidup adalah sebuah langkah awal sembari bersama membenahi diri serta mengambil posisi dalam perjuangan penerapan aturan yang benar, aturan yang tidak terdapat cacat, aturan yang mutlak tak akan pernah salah, aturan yang membawa kepada kebahagiaan.

Bersama kesulitan ada kemudahan.


Minggu, 15 Juni 2008

MEMBANGUN KEMANDIRIAN DAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

Pendahuluan

Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup manusia dan sekaligus merupakan kebutuhan paling mendasar bagi keutuhan suatu bangsa. Ketahanan pangan bagi suatu bangsa merupakan pilar utama dari integrasi dan independensi bangsa tersebut dari cengkraman penjajah. Dengan adanya ketergantungan pangan, suatu bangsa akan sulit lepas dari cengkraman penjajah. Dengan demikian upaya untuk mencapai kemandirian dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional bukan hanya dipandang dari sisi untung rugi ekonomi saja tetapi harus disadari sebagai bagian yang mendasar bagi ketahanan nasional yang harus dilindungi.

Diantara berbagai jenis bahan pangan, maka beras merupakan komoditi pangan paling penting bagi bangsa Indonesia, sebab beras merupakan bahan pangan pokok bagi lebih dari 95 persen penduduk, menyediakan lapangan pekerjaan dan sebagai sumber pendapatan bagi sekitar 21 juta rumah tangga. Sehingga beras sering menjadi komoditas politik yang sangat strategis dan produksi beras dalam negeri menjadi tolok ukur ketersediaan pangan bagi Indonesia. Laporan BPS tentang kemiskinan menyatakan bahwa setiap bulannya pengeluaran yang dilakukan oleh penduduk yang masuk dalam zona di bawah garis kemiskinan (GK) (pengeluaran per bulan di bawah Rp 152.847) untuk membeli beras mencapai 23,10% dari uang yang mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Menurut ukuran BPS penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan pada bulan Maret 2007 berjumlah 39,05 juta jiwa (17,75%). Namun bila menggunakan dasar perhitungan penduduk yang berada di luar zona garis tidak miskin dengan pengeluaran di bawah Rp 229.270 (1,5 GK) per bulan jumlahnya mencapai 128,94 juta jiwa atau 58,61% dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia.

Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) penduduk Indonesia pada tahun 2004 sebanyak 217,9 juta jiwa. Dengan pertumbuhan penduduk sebesar 1,5% sesuai kondisi saat ini, maka jumlah penduduk pada tahun 2009 akan mencapai 235 juta jiwa dan pada tahun 2025 diperkirakan sekitar 300 juta jiwa. Berdasarkan kondisi tersebut, maka kebutuhan pangan khususnya beras diperkirakan sekitar 33,5 juta ton beras pada tahun 2009 dan 42,5 juta ton beras pada tahun 2025. Kebutuhan yang besar jika tidak diimbangi dengan peningkatan produksi pangan justru menghadapi bahaya laten yang akan memicu berbagai masalah sosial, ekonomi dan politik ikutannya.

Berbagai upaya pemerintah untuk membangun kemadirian dan ketahanan pangan nasional telah dilakukan semenjak masa Orde Baru. Pada tahun 1984 Indonesia pernah mengukir prestasi gemilang dengan mampu mencapai swasembada pangan nasional, namun tahun-tahun selanjutnya prestasi tersebut semakin merosot sehingga upaya-upaya mempertahankan dan mencukupi kebutuhan pangan nasional semakin sulit dilakukan. Proyek pembukaan lahan pertanian sejuta hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah, implementasi Bimas, Insus dan Supra Insus, tampaknya tidak memberikan manfaat berarti, bahkan dalam dasawarsa terakhir kita terjebak dalam kesenjangan antara kebutuhan pangan dan produksi pangan nasional sehingga kebijakan impor beras dijadikan sebagai solusi instan oleh pemerintah.

Pada tanggal 11 Juni 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mencanangkan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) di Jatiluhur , Jawa Barat. Salah satu prioritas yang diusung dalam RPPK adalah ketahanan pangan. Program ini dicanangkan sebagai jawaban atas masalah serius yang dihadapi Indonesia selama dua dekade belakangan ini. Karena menurut simulasi Irawan (2003) pada 2020 kita memerlukan beras sebanyak 40 juta ton untuk keperluan konsumsi. Kalau masalah penyediaan pangan ini tidak bisa diatasi, maka bangsa Indonesia dengan segala problem yang dihadapinya saat ini, kemungkinan akan mengalami bencana sosial seperti yang dihadapi oleh beberapa negara afrika dalam bentuk kelaparan dan konflik sosial. Apakah program RPPK yang dicanangkan pemerintah sudah dinilai handal dan sustain untuk membangun kemandirian dan ketahanan pangan nasional di masa datang? Untuk menjawabnya tentu kita harus memahami akar masalah mengapa terjadi kerawanan pangan di negeri yang luas dan subur ini, serta menganalisa mengapa upaya-upaya untuk membangun ketahanan pangan yang dilakukan selama ini belum berhasil.

Mengapa Indonesia menjadi pengimpor pangan terbesar di dunia ?

Carut marutnya kondisi perberasan di Indonesia merupakan implikasi dari politik beras yang telah diterapkan pemerintah. Akibat adanya tekanan dari IMF, pemerintah meliberalisasi pasar beras domestik. Sejak saat itu arah, tujuan, dan formulasi kebijakan pangan, terutama beras semakin tidak jelas. Mulai saat itu pula, semua subsidi pertanian dan proteksi produk pertanian dihapuskan. Pasar beras domestik yang semula tertutup dan pelaksana impornya adalah monopoli Bulog, mulai terbuka bagi pelaku industri lain. Akibatnya, beras dan gula impor (bahkan sebagian besar selundupan) menggelontor ke pasar domestik. Dan ribuan petani pun menjerit di tengah himpitan ekonomi yang kian mencekik.

Jadi masalah utamanya terletak pada sistem yang diterapkan di negara ini yaitu sistem kapitalisme dan mentalitas pengelola negara serta penduduknya. Bukan kelangkaan lahan pertanian yang jadi masalah, tetapi penguasaan lahan pertanian dan kualitas penguasa dan masyarakat kita. Dalam sistem kapitalisme, lahan pertanian dinilai sebagai barang ekonomis yang bisa dimiliki oleh siapapun tanpa batas, peranan negara hanya sebatas administratif dan fasilitator. Hal ini jelas sangat berbahaya, sebab tanah merupakan asset yang tidak terbaharukan (nonrenewable), luasannya tetap sedangkan penggunanya akan terus bertambah. Dari sisi mentalitas dan kualitas manusianya pun tidak luput memprihatinkan. Kasus korupsi di Bulog sebagai contoh kongkrit rendahnya mentalitas pejabat di Indonesia. Demikian juga mentalitas rakyatnya yang jauh dari profesional dalam mengelola lahan pertanian.

Perburuan rente ekonomi merupakan faktor utama yang melatarbelakangi diterapkannya kebijakan perberasan di Indonesia. Dengan berlindung di balik argumentasi melindungi kepentingan rakyat agar harga beras dapat dijangkau oleh masyarakat, pemerintah hanya melihat harga beras dan pemenuhan pasokan beras dari sisi supply dan demand (mekanisme pasar) semata. Akibatnya ketika harga beras melambung penyebabnya disandarkan pada tingkat supply beras lokal yang tidak mampu memenuhi tingkat demand masyarakat. Sehingga untuk mengatasi gejolak harga solusi yang ditempuh dengan menyeimbangkan tingkat supply. Maka tidaklah aneh jika pemerintah selalu berpikir instan, yakni impor beras.

Selain sistem dan kebijakan pemerintah dalam bidang perberasan ada beberapa faktor lain yang ikut memperburuk keadaan, diantaranya adalah adanya konversi lahan subur (sawah irigasi dan tadah hujan) yang terus berlangsung di Jawa, sehingga pertumbuhan produksi padi cenderung menurun. Data statistik menunjukkan bahwa 95 persen dari produksi padi nasional berasal dari lahan sawah. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan sektor industri dan perumahan menyebabkan peningkatan kebutuhan lahan untuk perumahan dan areal pabrik. Irawan (2003) melaporkan bahwa selama 1978-1998 sekitar 1,07 juta hektar lahan (30,8%) telah terkonversi menjadi lahan nonpertanian. Selama periode yang sama, terdapat pembukaan sawah baru sekitar 0,91 juta hektar. Namun sejak krisis ekonomi yang berkepanjangan, pembukaan sawah baru hampir tidak mungkin, karena keterbatasan dana pembangunan. Dengan demikian, adalah sangat sulit mempertahankan luas areal tanam padi di Jawa. Di lain pihak, sekitar 48 persen padi ditanam di Jawa, mempunyai kontribusi produksi sekitar 58 persen dari produksi padi nasional. Ini berarti bahwa konversi lahan di Jawa akan berpengaruh buruk terhadap produksi beras nasional dan dengan sendirinya memperlemah ketahanan pangan.

Kebijakan pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional

Kebijakan yang dilaksanakan pemerintah saat ini belum sesuai dengan UU No.7 tahun 1996 tentang Pangan. Dalam Pasal 45 UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan ditegaskan pemerintah berkewajiban menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Sementara dalam pasal 47 ditegaskan guna mewujudkan cadangan pangan nasional, pemerintah akan berupaya: a) mengembangkan, membina, dan atau membantu penyelenggaraan cadangan pangan masyarakat, b). mengembangkan, menunjang, dan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi peran koperasi dan swasta dalam mewujudkan cadangan pangan setempat dan atau nasional. Namun kenyataannya, pemerintah justru hanya mengambil jalan pintas dengan cara impor beras, dan ironisnya ini terjadi setiap tahun (Pikiran Rakyat, 15 Maret 2007).

Kebijakan impor pangan yang menonjol sebagai program instan untuk mengatasi kekurangan produksi ini justru membuat petani semakin terpuruk dan tidak berdaya atas sistem pembangunan ketahanan pangan yang tidak tegas. Akibat over suplai pangan dari impor seringkali memaksa harga jual hasil panen petani menjadi rendah tidak sebanding dengan biaya produksinya sehingga petani terus menanggung kerugian. Hal ini mengakibatkan usaha tani tanaman pangan tidak menarik lagi bagi petani dan memilih profesi lain di luar pertanian, sehingga ketahanan pangan nasional mejadi rapuh (Hutapea dan Mashar, 2005).

Masalah produktifitas pertanian di Indonesia

Rendahnya laju peningkatan produksi pangan dan terus menurunnya produksi di Indonesia antara lain disebabkan oleh: (1) produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan cenderung terus menurun; (2) luas areal penanaman tanaman pangan yang terus menurun khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa. Kombinasi kedua faktor di atas memastikan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun yang cenderung terus menurun (Hutapea dan Mashar, 2005). Rata-rata produktivitas padi saat ini adalah 4,4 ton/ha, jagung 3,2 ton/ha dan kedelai 1,19 ton/ha (Purba dan Las, 2002). Jika dibanding dengan negara produsen pangan lain di dunia khususnya beras, produktivitas padi di Indonesia ada pada peringkat ke 29. Australia memiliki produktivitas rata-rata 9,5 ton/ha, Jepang 6,65 ton/ha dan Cina 6,35 ton/ha ( FAO, 1993).

Faktor dominan penyebab rendahnya produktivitas tanaman pangan di Indonesia antara lain disebabkan oleh: (a) penerapan teknologi budidaya di lapangan yang masih rendah; (b) tingkat kesuburan lahan yang terus menurun, dan (c) eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih belum optimal (Kush, 2002). Rendahnya penerapan teknologi budidaya tampak dari besarnya kesenjangan potensi produksi dari hasil penelitian dengan hasil di lapangan yang diperoleh oleh petani. Hal ini disebabkan karena pemahaman dan penguasaan penerapan paket teknologi baru yang dipahami oleh petani belum secara utuh sehingga penerapan teknologinya sepotong-sepotong (Mashar, 2000). Seperti penggunaan pupuk yang tidak tepat, penggunaan bibit unggul dan cara pemeliharaan yang belum optimal, kecenderungan menggunakan input pupuk kimia yang terus menerus, tidak menggunakan pergiliran tanaman, kehilangan pasca panen yang masih tinggi sehingga mencapai rata-rata 20 % dan memakai air irigasi yang tidak efisien. Rendahnya produktivitas dan daya saing komoditi tanaman pangan ini menyebabkan turunnya minat petani untuk mengembangkan usaha budidaya pangannya, sehingga dalam skala luas mempengaruhi produksi nasional.

Revolusi hijau dengan mengandalkan pupuk dan pestisida memiliki ternyata berdampak negatif pada kesuburan tanah yang berkelanjutan dan memicu terjadinya mutasi hama dan patogen yang tidak diinginkan. Pemakaian pupuk kimia, alkali dan pestisida yang terus menerus menyebabkan terakumulasinya residu yang berbahaya bagi lingkungan. Akibatnya disamping hilangnya mikroba pengendali keseimbangan daya dukung kesuburan tanah dan terjadi ketidak seimbangan mineral tanah, juga tanah yang dijadikan lahan budidaya tidak dapat lagi memberikan kontribusi pada peningkatan produktivitas karena telah mencapai titik jenuh (Levelling Off).

Eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih belum optimal tampak pada kesenjangan hasil petani dan hasil produktivitas di luar negeri atau hasil dalam penelitian. Dalam hal ini teknologi pemuliaan telah mengalami kemajuan yang cukup berarti dalam menciptakan berbagai varietas unggul berpotensi produksi tinggi. Meskipun upaya breeding modern, teknologi transgenik dan hibrida dirancang agar tanaman yang dikehendaki memiliki kemampuan genetik produksi tinggi (Kush, 2002), tetapi jika dalam menerapkannya di lapangan tidak sempurna, maka performa keunggulan genetiknya tidak nampak.

Beberapa Solusi Membangun Ketahanan Pangan

Membangun kemandirian dan ketahanan pangan nasional harus dilandasi dengan sistem dan kebijakan pangan yang menekankan pada upaya swasembada pangan yang kokoh dan sustain, serta pengelolaan program yang terencana, bertahap dan profesional dengan keberpihakan kepada rakyat. Ritung dan Hidayat (2007) menyatakan bahwa untuk merealisasikan swasembada pangan nasional diperlukan upaya peningkatan produksi melalui tiga cara yaitu : (1) peningkatan produktivitas dengan menerapkan teknologi usaha tani terobosan, (2) peningkatan luas areal panen melalui peningkatan intensitas tanam dan pembukaan areal baru, (3) peningkatan penanganan panen dan pasca panen untuk menekan kehilangan hasil dan meningkatkan nilai tambah.

Penerapan teknologi terobosan dalam upaya meningkatkan produktifitas pertanian dilakukan dengan cara mengembalikan daya dukung lahan dan mengeliminasi penggunaan sarana pertanian kimia sintetis (pupuk kimia dan pestisida kimia). Subsidi teknologi yang menjadi bagian penting dari upaya menciptakan ketahanan pangan yang tangguh, harus mengutamakan teknologi produktivitas yang ramah lingkungan. Teknologi tersebut harus telah terbukti memberikan kontribusi yang nyata bagi peningkatan produktivitas dan teruji bukan hanya untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan tetapi juga mampu menjaga kelestarian produksi dan ramah lingkungan. Disamping itu teknologi yang diterapkan harus bersifat sederhana, mudah dimengerti dan dilaksanakan petani sehingga dapat diterapkan di lapangan secara utuh dan memiliki kawalan/pendampingan di lapangan untuk menjamin keberhasilannya.

Sulitnya melakukan peningkatan produksi pangan nasional antara lain karena pengembangan lahan pertanian pangan baru tidak seimbang dengan konversi lahan pertanian produktif yang berubah menjadi fungsi lain seperti permukiman. Lahan irigasi Indonesia sebesar 10.794.221 hektar telah menyumbangkan produksi padi sebesar 48.201.136 ton dan 50 %-nya lebih disumbang dari pulau Jawa (BPS, 2000). Akan tetapi mengingat padatnya penduduk di pulau Jawa keberadaan lahan tanaman pangan tersebut terus mengalami degradasi seiring meningkatnya kebutuhan pemukiman dan pilihan pada komoditi yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi seperti hortikultura. Jika tidak ada upaya khusus untuk meningkatkan produktivitas secara nyata dan membuka areal baru pertanian pangan sudah pasti produksi pangan dalam negeri tidak akan mampu mencukupi kebutuhan pangan nasional.

Potensi untuk perluasan lahan pertanian di Indonesia ini sebenarnya masih sangat luas. Berdasarkan kondisi biofisik lahan (fisiografi, bentuk wilayah, lereng, iklim), dari 188,2 juta hektar total daratan Indonesia, lahan yang sesuai untuk pertanian adalah seluas 100,7 juta hektar, yaitu 24,5 juta hektar sesuai untuk lahan basah (sawah), 25,3 juta hektar sesuai untuk lahan kering tanaman semusim, dan 50,9 juta hektar sesuai untuk lahan kering tanaman tahunan. Dari 24,5 juta hektar lahan yang sesuai untuk lahan basah, 8,5 juta hektar di antaranya sudah digunakan untuk lahan sawah. Namun karena adanya konversi (alih guna) lahan sawah, maka luas lahan sawah baku saat ini sekitar 7,8 juta hektar. Sekitar 16 juta hektar lahan sesuai untuk perluasan lahan sawah yang terdiri dari 3,5 juta hektar lahan rawa dan 12,5 juta hektar lahan non rawa. Lahan non rawa yang berpotensi dijadikan sawah tersebar di pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Di pulau Jawa lahan yang sesuai tersebut kebanyakan sudah digunakan untuk keperluan lain sehingga hampir tidak mungkin melakukan ekstensifikasi sawah di pulau Jawa. Luas lahan pasang surut dan lebak di Indonesia diperkirakan mencapai 20,19 juta hektar dan sekitar 9,5 juta hektar berpotensi untuk pertanian serta 4,2 juta hektar telah di reklamasi untuk pertanian (Ananto, 2002). Kendala utama pengembang di lahan ini adalah keragaman sifat fisiko-kimia seperti pH yang rendah, kesuburan rendah, keracunan tanah dan kendala bio-fisik seperti pertumbuhan gulma yang pesat, OPT dan cekaman air (Moeljopawiro, 2002).

Dalam jangka pendek, strategi perluasan areal pertanian dapat diprioritaskan untuk memanfaatkan lahan-lahan tidur (alang-alang) yang luasnya sekitar 8,5 juta. Sebagian (1,08 juta ha) lahan tersebut telah didelineasi kesesuaiannya pada skala 1:50.000, yang terebar di 13 propinsi. Lahan tersebut sangat berpeluang dikembangkan baik untuk tanaman semusim maupun tahunan, terutama di daerah transmigrasi di mana infrastruktur cukup baik dan tenaga kerja tersedia. Di samping itu, terdapat lahan rawa (pasang surut) yang sudah pernah direklamasi seluas 4,19 juta ha, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal dan bahkan diterlantarkan. Lahan yang telah dikembangkan hanya seluas 835.200 ha, sehingga masih terbuka peluang untuk pengembangan dan perluasan areal lahan sawah, tentunya dengan perencanaan, pemanfaatan, dan pengelolaan lahan sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Selain itu, lahan sawah irigasi yang ada sekarang ini, perlu dipertahankan keberadaannya karena sawah tersebut telah menghabiskan investasi yang besar dalam pencetakan dan pembangunan jaringan irigasinya, misalnya dengan menetapkan lahan sawah abadi (RPPK, 2005)

Krisnamurthi (2003) mengusulkan kepada pemerintah agar dapat memfokuskan diri pada pada pelaksanaan agenda pengembangan ketahanan pangan sebagai berikut :

  1. Mencegah dan mengurangi laju konversi lahan produktif.
  2. Memanfaatkan dengan lebih optimal berbagai bentuk sumberdaya lahan (lahan kering, lahan rawa, lahan pasang surut) untuk kepentingan pemantapan produksi pangan dan peningkatan pendapatan petani.
  3. Mendukung usaha peningkatan produktivitas usaha pertanian, terutama melalui peningkatan penggunaan bibit unggul dan mengurangi kehilangan hasil pasca panen.
  4. Melakukan rehabilitasi, pemeliharaan dan optimasi pemanfaatan infrastruktur irigasi dan jalan desa.
  5. Melakukan berbagai langkah kongkrit dalam konservasi sumberdaya tanah dan air, terutama dalam wilayah aliran sungai.
  6. Mempromosikan produksi dan konsumsi anekaragam pangan berbasis sumberdaya lokal, baik yang berbasis tanah maupun berbasis air (laut, danau, sungai), dengan menyertakan masyarakat dan dunia usaha.
  7. Mengembangkan sistem informasi pangan yang dapat diakses secara terbuka, termasuk pengembangan peta potensi pangan daerah.
  8. Mengembangkan berbagai kelembagaan pendukung produksi dan distribusi pangan, terutama kelembagaan pembiayaan, penelitian, penyuluhan, dan pendidikan.
  9. Mengembangkan berbagai sistem insentif yang diperlukan bagi peningkatan produksi pangan dan peningkatan pola konsumsi pangan beranekaragam.

Kesimpulan

Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) yang memprioritaskan pada upaya membangun ketahanan pangan akan mengalami kegagalan apabila sistem kapitalisme dan tekanan pihak luar dalam menentukan kebijakan pangan tidak dirubah. Hal lain yang tidak kalah penting adalah membangun integritas dan profesionalisme dalam pengelolaan pangan, baik pemerintah, pengusaha maupun petaninya. Upaya teknis yang dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan nasional yang kokoh adalah: (1) meningkatkan produktivitas dengan menerapkan teknologi usaha tani terobosan, (2) meningkatkan luas areal panen melalui peningkatan intensitas tanam dan pembukaan areal baru, (3) meningkatkan penanganan panen dan pasca panen untuk menekan kehilangan hasil dan meningkatkan nilai tambah.


Ir. H. Samsudin, MSi
(Direktur Lembaga Pertanian Sehat Dompet Dhuafa)


Daftar Pustaka

Ananto, E. 2002. Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut Mendukung Peningkatan Produksi Pangan. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.

BPS. 2001. 2005. Stasistik Indonesia 2000, 2004. BPS Jakarta.

FAO. 1993. Rice In human Nutrition. Food and Nutrition Series. FAO, Rome .

Hutapea, J. dan Mashar, A.Z. 2005. Ketahanan Pangan dan Teknologi Produktivitas menuju Kamandirian Pertanian Indonesia.

Irawan. B. 2003. Konversi Lahan Sawah di Jawa dan Dampaknya terhadap Produksi Padi dalam Kasryno et al. (Eds). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Indonesian Agency for Agricultural Research and Development. Jakarta.

Khush G.S.. 2002. Food Security By Design: Improving The Rice Plant in Partnership With NARS. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.

Krisnamurthi, B. 2003. Agenda Pemberdayaan Petani dalam rangka Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional. Jurnal Ekonomi Kerakyatan. Th. II - No. 7, Oktober 2003.

Mashar A.Z., 2000, Teknologi Hayati Bio P 2000 Z Sebagai Upaya untuk Memacu Produktivitas Pertanian Organik di Lahan Marginal. Makalah disampaikan Lokakarya dan pelatihan teknologi organik di Cibitung 22 Mei 2000.

Moeljopawiro, S. 2002. Bioteknologi Untuk Peningkatan Produktivitas dan Kualitas Padi. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.

Pikiran Rakyat. 15 Maret 2007. Kebijakan Pangan Harus Dirombak, Konsep yang Ada Sudah tidak Sesuai Dinamika .

Purba S. dan Las I. 2002, Regionalisasi Opsi Strategi Peningkatan Produksi Beras. Makalah disampaikan pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.

Ritung, S., dan A. Hidayat . 2007. Potensi dan Ketersediaan Lahan untuk Pengembangan Pertanian melalui Pendekatan Citra Satelit. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.

RPPK. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan; Rangkuman Kebutuhan Investasi.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

coin casino bonus codes - casinowebgames
인카지노 Coin Casino is an instant-play, 1xbet korean UK licensed and regulated online casino with kadangpintar a UK Gambling licence. The site is part of the Entertainment Group.